Tiwiek SA Dan Sastra Jawa
Boleh usia menanjak tua, tapi semangat menulis panggah berkobar jiwa muda. Masa pensiun yang kini dinikmatinya pun tidak sekadar habiskan waktu momong cucu. Selain kelola majalah pendidikan berbahasa Jawa bernama JEMPARING, sastrawan kelahiran Karangtalun, Kalidawir Tulungagung ini berhasil nerbitkan 7 buku jenis novel dan kumpulan cerpen.
Dulu ketika masih sebagai guru SD, belum
berpikir menerbitkan karya-karyanya dalam bentuk buku. Semuanya dikirim
ke berbagai majalah berbahasa Jawa. Sejak mulai menulis pada tahun
1974, tak terhitung karya-karyanya yang bertebar di media cetak
berbahasa Jawa.
”Semua tulisan saya kirim ke
majalah-majalah berbahasa Jawa seperti Panjebar Semangat, Djoko Lodang,
Jayabhaya, dan lainnya. Jenisnya macam-macam. Ada cerita serial, cerita
pendek, cerita rakyat, bahkan cerita anak dan remaja juga saya tulis.”
Tetapi semangat menerbitkan buku
terpantik usai terima hadiah penghargaan dari yayasan RANCAGE milik
sastrawan Ayip Rosidi pada tahun 2006 silam. Ia berpikir membukukan
karya-karyanya yang dulu tersebar di beberapa media cetak berbahasa
Jawa.
”Buku-buku sastra berbahasa Jawa sulit
menembus penerbit besar. Mereka tentu berhitung bahwa buku berbahasa
Jawa sulit menembus pasar atau sulit untuk dijual kepada para pembaca.
Karena itu saya mencari cara lain bagaimana karya-karya sastra berbahasa
Jawa dapat dinikmati masyarakat terutama wong Jawa. Bagaimana sastra
Jawa tidak semakin tergerus jaman,” ungkapnya penuh keprihatinan.
“Saya terpaksa menerbitkan buku dengan
biaya sendiri. Sebagian uang hadiah digunakan untuk membiayai penerbitan
dan percetakan buku,” sambungnya dengan semangat muda.
Sampai kemudian buku-buku karya
sastrawan Tulungagung ini bermunculan menyapa para pembaca sastra Jawa.
Ada novel berjudul Carang-Carang Garing, Suminar, Piwelinge Puranti, dan
Guwa Banger. Masih ada dua karya yang sudah diterbitkan dalam bentuk
buku antara lain kumpulan cerita pendek berjudul Trubus Kang Mranggas
dan cerita rakyat berjudul Tragedi Keraton Powan. Bulan ini luncurkan
buku ketujuh, novel berjudul Nalika Rembulan Panglong.
“Awalnya novel Nalika Rembulan Panglong
berupa cerita serial yang pernah dimuat di majalah Djaka Lodang mulai
Agustus sampai Desember 1995. berseting waktu tahun 80-an. Dan setelah
dikemas dalam bentuk buku, saya melakukan beberapa revisi terkait seting
waktu dan suasana jadi novel berseting waktu jaman sekarang. Meski
demikian alur, penokohan, dan kerangka utamanya tetap seperti dulu,”
papar pensiunan kepala sekolah kelahiran 1948 ini.
Sosok bersahaja sederhana ini bernama
Suwignyo Adi. Dalam setiap karyanya menggunakan nama pena Tiwiek SA.
Bersama sastrawan Tamsir AS yang juga dari Tulungagung, dan beberapa
sastrawan muda dari Tulungagung, Trenggalek, dan Blitar, pada 18 Mei
1980, mendirikan sanggar sastra Jawa TRIWIDHA yang masih hidup sampai
sekarang, mewarnai jagat kasusasteraan Jawa nusantara.
Dalam jagad kasusatraan Jawa, nama
Sanggar TRIWIDA yang kini dipimpin sastrawan Sunarko ‘Sodron’ Budiman
itu bukan papan nama mencengangkan. Sejak mula tampil dalam jagad sastra
Jawa, namanya sudah menusantara. Sanggar sastra Jawa berpusat di
Tulungagung ini, di antara sanggar sanggar sejenis, termasuk paling
aktif di tlatah Jawatimur, mendapat perhatian khusus majalah Jayabaya,
Panjebar Semangat, maupun media berbahasa Jawa lainnya. Sepak terjang
Sanggar Triwida sangat diperhitungkan, utamanya dalam upaya membina
mengembangkan bahasa dan sastra Jawa gagrag anyar.
Terkait budaya membaca sastra Jawa
khususnya di Tulungagung dan sekitarnya, Suwignyo Adi mengaku masih
prihatin karena selama ini apresiasi dari kalangan generasi muda
terbilang sangat kurang.
”Sekarang komunitas sastra Jawa banyak
bermunculan terutama di dunia maya. Tetapi sepertinya tidak diimbangi
tingginya minat baca. Terbukti ketika ada buku berbahasa Jawa terbit,
tidak banyak yang mengapresiasi dalam arti membeli.”
Suwignyo Adi masih bilang bahwa selama
ini pembaca buku buku karyanya masih sangat terbatas pada kalangan sepuh
atau mereka yang selama ini mengenal banyak dunia kesusastreraan jawa.
Ini yang membuat dunia sastra Jawa terasa kurang berkembang atau kurang
mendapat apresiasi dari kalangan generasi muda.
“Membaca kanggone wong Jawa sepertinya
belum jadi kebutuhan. Jangankan kewajiban, kebutuhan saja belum,”
pungkasnya saat berkunjung ke Sanggar Pena Ananda Klub milik Bunda
Zakyzahra Tuga pada Selasa [25/3].
Semoga upaya Suwignyo Adi alias Tiwiek
SA menerbitkan buku-buku sastra Jawa secara mandiri semakin
mengembangkan tradisi budaya menulis dan membaca terutama sastra Jawa.
[SIWI SANG – Jurnalis Warga Tulungagung, Penulis buku GIRINDRA: Pararaja Tumapel Majapahit]
SUMBER: http://www.tulungagung.go.id
Tiwiek SA Dan Sastra Jawa
Reviewed by Unknown
on
October 09, 2016
Rating:
Post a Comment